Syifa, seorang perempuan shalihah yang cantik, ditambah iman dan keshalihannya yang menghiasi setiap langkahnya.
Syifa mulai memasuki sebuah fase yang sering dialami oleh setiap wanita. Usianya memasuki angka 25 tahun,hatinya mulai dihiasi rasa rindu yang tak bisa diurai dengan logika.
Perlahan Syifa menyusun kepingan-kepingan keinginannya dan mengumpulkan segenap kekuatan.
Lalu ia menemui gurunya.
“ Mbak Hasna, saya ingin menikah. Tolong carikan saya calon ya Mbak…”
“ InsyaAllah dik,, biodata dan foto adik sudah disiapkan?”
“ Sudah mbak, ini biodata saya..”
“ Oke, adik jangan lupa terus berdoa ya…”
Dengan wajah penuh semangat dan azam yang kuat, Syifa melangkah meninggalkan rumah Hasna.
Sejak itu ia tak pernah berhenti berdoa. Setiap malam ia semakin rajin berkhalwat dengan Rabbnya.
“ Ya Rabby, hamba menyerahkan semua padaMu. Engkaulah yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba. Hamba hanya ingin seorang lelaki shalih. Yang kan mencintai hamba dengan kecintaanNya padaMu. Yang kan selalu membuat hamba iri dengan ketaatannya padaMu. Hamba ingin seorang lelaki shalih,, yang kan melepas hamba dengan ridha dan keikhlasannya ketika hamba berpulang kepadaMu.. “
Itulah sepenggal doa Syifa..
Hari berganti hari, belum ada kabar dari mbak Hasna. Syifa mulai merasa gelisah, namun dia terus berusaha menenangkan dan menguatkan hatinya.
Di tempat lain, ada sesosok laki-laki shalih, sebut saja Ahmad namanya. Ia sedang bermunajah di penghujung malam. Hatinya menangis pilu. Lamarannya beberapa kali ditolak. Sedangkan usinya semakin tua. Keinginan untuk menikah pun tak bisa dibendung lagi. Ia tak tahu harus berikhtiar apalagi. Ia hanya bisa mengadukan pada RabbNya, memohon segenap kekuatan dan penuh semangat.
“ Nak, bapak dan ibu selalu mendoakan kamu. Mungkin yang kemarin-kemarin memang belum yang terbaik buat kamu…”.
Ia tak kuasa menahan haru ketika teringat ucapan ibunya. Sebagai seorang laki-laki, ia cukup ideal. Ia laki-laki yang shalih, mapan dan dari keluarga yang baik.
Suatu hari, ketika ia beranjak dari tempat duduknya, setelah mengikuti kajian di suatu tempat, ada seorang sahabat menyapanya.
“ Assalammu’alaikum.. Ahmad, apa kabar?”
“ Wa’alaikum salam, Adit, Alhamdulillah, aku baik. Kamu gimana Dit?”
“ Alhamdulillah, baik. Aku sekarang sudah hampir punya dua anak. Istriku sedang hamil anak yang kedua. Kamu gimana? Sudah menikah?”
Ahmad yang tadinya ceria menyambut sapaan Adit kini berubah sedih. Adit mengajaknya duduk dibawah pohon besar dekat masjid. Pohon rindang yang lumayan menyejukkan. Kemudian Ahmad menceritakan semua kegagalannya menjemput bidadarinya.
“ Ahmad, saudaraku, kamu harus tetep semangat. Aku yakin bidadarimu tidak jauh lagi.
Oh iya, kebetulan, adik-adik istriku beberapa ada yang meminta tolong untuk dicarikan suami. Gimana kalo kamu aku bantuin nyari juga? Siapa tahu jodoh?”
“ Bener nih Dit? Kamu serius?”
“ Ya iya lah Mad, urusan begini gak boleh lah main-main.”
Tidak menunggu lama, beberapa hari kemudian Ahmad silaturahim ke rumah Adit.
Adit adalah suami Hasna, guru ngaji Syifa. Adit dan Hasna memberikan beberapa amplop tertutup yang isinya biodata muslimah.
Ahmad mengambil satu dan kemudian ia istikharah. Tiga hari kemudian, Ahmad menyampaikan kemantapannya dengan muslimah yang pertama kali dia ambil biodatanya. Biodata yang menuliskan nama Syifa. Hasna pun menyampaikan kepada Syifa hingga proses ta’aruf pun terjadi.
Mungkin inilah yang dinamakan jodoh. Keluarga Syifa maupun Ahmad sangat bahagia dan sangat merestui keduanya untuk menikah. Pertemuan keluargapun digelar, kedua keluarga memilih untuk menggelar pernikahan yang sederhana.
Semua keluarga terlibat mempersiapkan pernikahan mereka. Termasuk Hasna dan Adit, yang menjadi orang terdekat Syifa dan Ahmad.
Seperti sebuah mimpi yang akan menjadi kenyataan bagi Syifa dan Ahmad. Beberapa waktu lalu mereka masih dalam kegundahan, menanti siapakan belahan jiwa mereka. Beberapa waktu lalu semua masih terbungkus rahasia dan diselaputi misteri.
Sekarang? Tak terasa sampai di dua hari menjelang pernikahan.
“ Astaghfirullah, undangan buat temen-temen di kampus ketinggalan…” gumam Syifa.
Dengan secepat kilat Syifa bersiap-siap menuju kampusnya. Ia akan menyampaikan undangannya ke teman-temannya dikampus.
“ Mau kemana nduk? Kok buru-buru gitu?” tiba-tiba ibu menghampirinya.
“ Mau nganter undangan ke temen-temen di kampus Bu, ketinggalan.”
“ Nitip ke teman kamu aja Nduk, siapa gitu, kamu jaga kondisi biar gak kecapekan, kan kemarin udah muter-muter..”
“ InsyaAllah ga papa Bu, sungkan kalo nitip-nitip. Syifa berangkat dulu ya..”
Syifa akhirnya berangkat ke kampusnya naik angkot. Saat turun dari angkot, menuju gerbang kampusnya ia melihat seorang anak kecil yang lucu sekali. Mirip ketika ia masih kecil dulu, pipinya chubby dan imut. Anak kecil itu begitu aktif, namun tiba-tiba anak kecil itu terlepas dari genggaman ibunya yang sedang merespon sapaan seorang wanita. Anak itu berlarian. Syifa melihat sebuah sedan melaju cepat ke arah anak kecil itu. Reflek Syifa berlari dan mendorong anak itu… Braaaaaakkkk…..!!!
Syifa tertabrak dan terlempar jauh, tubuhnya terguling hebat. Suasana menjadi riuh, banyak orang berdatangan mengerumuni tubuh Syifa yang berlumuran darah. Syifa tak sadarkan diri. Ia dilarikan kerumah sakit terdekat. Kondisi Syifa semakin kritis. Dokter sedang berusaha menyelamatkannya . keluarganya mulai berdatangan, ibu, ayah, adik, kakak dan beberapa paman dan bibinya. Mereka tak bisa menahan isak tangis sedihnya.
Syifa masih koma, tak sadarkan diri. Ibunya mencoba untuk tegar, dipakaikannya jilbab pada putrinya yang shaliha. Ibu Syifa ingin putrinya tetap cantik dalam balutan jilbabnya, jilbab pink kesayangannya. Tak lama kemudian Ahmad dan kedua orang tuanya datang. Ibu Ahmad yang masuk ke ruang ICU, Ahmad dan bapaknya menunggu diluar. Ibu Ahmad tak sanggup menahan airmata pilunya, dia mencium kening calon menantunya yang tergeletak tak berdaya.Ahmad pun tak bisa menyembunyikan kesedihannya, dia lebih banyak diam.
Hari ini harusnya Syifa menjadi seorang pengantin. Syifa masih tergolek lemah di ruang ICU, sesekali ia merespon kehadiran orang-orang didekatnya dengan kedipan matanya yang sayu. Dengan hati perih, Ahmad memasuki ruang ICU ditemani ibunya.
“ Ibu, Ahmad punya satu permintaan. Tolong ijinkan Ahmad menikah dengan Syifa sekarang ya Bu…”Entah seperti kenapa, ibu Ahmad yang terlanjur mencintai calon menantunya itu mengiyakan permintaan anaknya.
Setelah keinginan Ahmad disampaikan kepada semua keluarga. Pernikahan pun segera disiapkan. Ibunya Syifa dan Ibunya Ahmad mendandani Syifa hingga ia nampak begitu cantik dengan gaun pengantin yang sudah dipersiapkan untuk hari bahagianya.
Suasana begitu haru, ayah Syifa sendiri yang akan menikahkan putrinya dengan Ahmad.
“ Saya nikahkan putri saya Syifa Nur Putri Himawan binti Arief Himawan dengan engkau Ahmad Indrawan bin Husein dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai…”
“ Saya terima nikahnya Syifa Nur Putri Himawan binti Arief Himawan dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai..”
Dan saksi-saksi pun berkata, “Sah..!”. Doa barokahpun mengalir menyambut perjanjian suci dua hati.
Hanya ada Ahmad dan Syifa di ruang ICU, Ahmad menggenggam tangan Syifa, mencium kening istrinya dan mendoakannya. Syifa meresponnya dengan senyuman. Ahmad bahagia sekali.
“ Dik Syifa, emm bolehkan aku panggil Dik Syifa? Aku senang sekali akhirnya kita berdua dipertemukan Allah. Dik Syifa bahagia kan? Oh iya, aku hafal Ar Rahman loh.. aku bacain buat kamu ya…” Ayat demi ayat surah Ar Rahman mengalun menghiasi suasana romantis dua hati yang sedang mensyukuri kebersamaan mereka.
Mungkin terlihat seperti kebersamaan yang sepi, namun dua hati mereka sedang berdialog dengan cinta yang tak bisa terlukiskan oleh tinta. Hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Dan, ketika sampai di ayat yang terakhir, tangan Syifa menggenggam erat tangan Ahmad.
“ Dik Syifa mau bilang sesuatu?”, tanya Ahmad sembari mendekatkan telinganya. Namun tak terdengar apa-apa. Ahmad mencoba melihat gerak bibir istrinya yang terlihat lemah.
“ Iya Syifa, aku insyaAllah ridho… sudah, syifa istirahat ya….” Syifa pun pelan-pelan kembali menggerakkan bibirnya, seakan mengucapkan sesuatu. Terdiam, pelan-pelan Syifa tersenyum dan menutup matanya untuk selamanya.
Ahmad tak kuasa menahan airmatanya. Istri yang dicintainya telah pergi. Ahmad teringat dengan sebuah hadist, istri yang meninggal dunia dalam keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, Tirmidzi)
“ Tunggu aku di surga ya Dik Syifa…” ucap Ahmad dengan senyum dan airmata yang bersamaan.
Re-write dari: http://www.facebook.com/notes/blog-nya-mas-rully/tunggu-aku-di-surganya/183150798371243
Syifa mulai memasuki sebuah fase yang sering dialami oleh setiap wanita. Usianya memasuki angka 25 tahun,hatinya mulai dihiasi rasa rindu yang tak bisa diurai dengan logika.
Perlahan Syifa menyusun kepingan-kepingan keinginannya dan mengumpulkan segenap kekuatan.
Lalu ia menemui gurunya.
“ Mbak Hasna, saya ingin menikah. Tolong carikan saya calon ya Mbak…”
“ InsyaAllah dik,, biodata dan foto adik sudah disiapkan?”
“ Sudah mbak, ini biodata saya..”
“ Oke, adik jangan lupa terus berdoa ya…”
Dengan wajah penuh semangat dan azam yang kuat, Syifa melangkah meninggalkan rumah Hasna.
Sejak itu ia tak pernah berhenti berdoa. Setiap malam ia semakin rajin berkhalwat dengan Rabbnya.
“ Ya Rabby, hamba menyerahkan semua padaMu. Engkaulah yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk hamba. Hamba hanya ingin seorang lelaki shalih. Yang kan mencintai hamba dengan kecintaanNya padaMu. Yang kan selalu membuat hamba iri dengan ketaatannya padaMu. Hamba ingin seorang lelaki shalih,, yang kan melepas hamba dengan ridha dan keikhlasannya ketika hamba berpulang kepadaMu.. “
Itulah sepenggal doa Syifa..
Hari berganti hari, belum ada kabar dari mbak Hasna. Syifa mulai merasa gelisah, namun dia terus berusaha menenangkan dan menguatkan hatinya.
Di tempat lain, ada sesosok laki-laki shalih, sebut saja Ahmad namanya. Ia sedang bermunajah di penghujung malam. Hatinya menangis pilu. Lamarannya beberapa kali ditolak. Sedangkan usinya semakin tua. Keinginan untuk menikah pun tak bisa dibendung lagi. Ia tak tahu harus berikhtiar apalagi. Ia hanya bisa mengadukan pada RabbNya, memohon segenap kekuatan dan penuh semangat.
“ Nak, bapak dan ibu selalu mendoakan kamu. Mungkin yang kemarin-kemarin memang belum yang terbaik buat kamu…”.
Ia tak kuasa menahan haru ketika teringat ucapan ibunya. Sebagai seorang laki-laki, ia cukup ideal. Ia laki-laki yang shalih, mapan dan dari keluarga yang baik.
Suatu hari, ketika ia beranjak dari tempat duduknya, setelah mengikuti kajian di suatu tempat, ada seorang sahabat menyapanya.
“ Assalammu’alaikum.. Ahmad, apa kabar?”
“ Wa’alaikum salam, Adit, Alhamdulillah, aku baik. Kamu gimana Dit?”
“ Alhamdulillah, baik. Aku sekarang sudah hampir punya dua anak. Istriku sedang hamil anak yang kedua. Kamu gimana? Sudah menikah?”
Ahmad yang tadinya ceria menyambut sapaan Adit kini berubah sedih. Adit mengajaknya duduk dibawah pohon besar dekat masjid. Pohon rindang yang lumayan menyejukkan. Kemudian Ahmad menceritakan semua kegagalannya menjemput bidadarinya.
“ Ahmad, saudaraku, kamu harus tetep semangat. Aku yakin bidadarimu tidak jauh lagi.
Oh iya, kebetulan, adik-adik istriku beberapa ada yang meminta tolong untuk dicarikan suami. Gimana kalo kamu aku bantuin nyari juga? Siapa tahu jodoh?”
“ Bener nih Dit? Kamu serius?”
“ Ya iya lah Mad, urusan begini gak boleh lah main-main.”
Tidak menunggu lama, beberapa hari kemudian Ahmad silaturahim ke rumah Adit.
Adit adalah suami Hasna, guru ngaji Syifa. Adit dan Hasna memberikan beberapa amplop tertutup yang isinya biodata muslimah.
Ahmad mengambil satu dan kemudian ia istikharah. Tiga hari kemudian, Ahmad menyampaikan kemantapannya dengan muslimah yang pertama kali dia ambil biodatanya. Biodata yang menuliskan nama Syifa. Hasna pun menyampaikan kepada Syifa hingga proses ta’aruf pun terjadi.
Mungkin inilah yang dinamakan jodoh. Keluarga Syifa maupun Ahmad sangat bahagia dan sangat merestui keduanya untuk menikah. Pertemuan keluargapun digelar, kedua keluarga memilih untuk menggelar pernikahan yang sederhana.
Semua keluarga terlibat mempersiapkan pernikahan mereka. Termasuk Hasna dan Adit, yang menjadi orang terdekat Syifa dan Ahmad.
Seperti sebuah mimpi yang akan menjadi kenyataan bagi Syifa dan Ahmad. Beberapa waktu lalu mereka masih dalam kegundahan, menanti siapakan belahan jiwa mereka. Beberapa waktu lalu semua masih terbungkus rahasia dan diselaputi misteri.
Sekarang? Tak terasa sampai di dua hari menjelang pernikahan.
“ Astaghfirullah, undangan buat temen-temen di kampus ketinggalan…” gumam Syifa.
Dengan secepat kilat Syifa bersiap-siap menuju kampusnya. Ia akan menyampaikan undangannya ke teman-temannya dikampus.
“ Mau kemana nduk? Kok buru-buru gitu?” tiba-tiba ibu menghampirinya.
“ Mau nganter undangan ke temen-temen di kampus Bu, ketinggalan.”
“ Nitip ke teman kamu aja Nduk, siapa gitu, kamu jaga kondisi biar gak kecapekan, kan kemarin udah muter-muter..”
“ InsyaAllah ga papa Bu, sungkan kalo nitip-nitip. Syifa berangkat dulu ya..”
Syifa akhirnya berangkat ke kampusnya naik angkot. Saat turun dari angkot, menuju gerbang kampusnya ia melihat seorang anak kecil yang lucu sekali. Mirip ketika ia masih kecil dulu, pipinya chubby dan imut. Anak kecil itu begitu aktif, namun tiba-tiba anak kecil itu terlepas dari genggaman ibunya yang sedang merespon sapaan seorang wanita. Anak itu berlarian. Syifa melihat sebuah sedan melaju cepat ke arah anak kecil itu. Reflek Syifa berlari dan mendorong anak itu… Braaaaaakkkk…..!!!
Syifa tertabrak dan terlempar jauh, tubuhnya terguling hebat. Suasana menjadi riuh, banyak orang berdatangan mengerumuni tubuh Syifa yang berlumuran darah. Syifa tak sadarkan diri. Ia dilarikan kerumah sakit terdekat. Kondisi Syifa semakin kritis. Dokter sedang berusaha menyelamatkannya . keluarganya mulai berdatangan, ibu, ayah, adik, kakak dan beberapa paman dan bibinya. Mereka tak bisa menahan isak tangis sedihnya.
Syifa masih koma, tak sadarkan diri. Ibunya mencoba untuk tegar, dipakaikannya jilbab pada putrinya yang shaliha. Ibu Syifa ingin putrinya tetap cantik dalam balutan jilbabnya, jilbab pink kesayangannya. Tak lama kemudian Ahmad dan kedua orang tuanya datang. Ibu Ahmad yang masuk ke ruang ICU, Ahmad dan bapaknya menunggu diluar. Ibu Ahmad tak sanggup menahan airmata pilunya, dia mencium kening calon menantunya yang tergeletak tak berdaya.Ahmad pun tak bisa menyembunyikan kesedihannya, dia lebih banyak diam.
Hari ini harusnya Syifa menjadi seorang pengantin. Syifa masih tergolek lemah di ruang ICU, sesekali ia merespon kehadiran orang-orang didekatnya dengan kedipan matanya yang sayu. Dengan hati perih, Ahmad memasuki ruang ICU ditemani ibunya.
“ Ibu, Ahmad punya satu permintaan. Tolong ijinkan Ahmad menikah dengan Syifa sekarang ya Bu…”Entah seperti kenapa, ibu Ahmad yang terlanjur mencintai calon menantunya itu mengiyakan permintaan anaknya.
Setelah keinginan Ahmad disampaikan kepada semua keluarga. Pernikahan pun segera disiapkan. Ibunya Syifa dan Ibunya Ahmad mendandani Syifa hingga ia nampak begitu cantik dengan gaun pengantin yang sudah dipersiapkan untuk hari bahagianya.
Suasana begitu haru, ayah Syifa sendiri yang akan menikahkan putrinya dengan Ahmad.
“ Saya nikahkan putri saya Syifa Nur Putri Himawan binti Arief Himawan dengan engkau Ahmad Indrawan bin Husein dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai…”
“ Saya terima nikahnya Syifa Nur Putri Himawan binti Arief Himawan dengan mas kawin seperangkat alat shalat dibayar tunai..”
Dan saksi-saksi pun berkata, “Sah..!”. Doa barokahpun mengalir menyambut perjanjian suci dua hati.
Hanya ada Ahmad dan Syifa di ruang ICU, Ahmad menggenggam tangan Syifa, mencium kening istrinya dan mendoakannya. Syifa meresponnya dengan senyuman. Ahmad bahagia sekali.
“ Dik Syifa, emm bolehkan aku panggil Dik Syifa? Aku senang sekali akhirnya kita berdua dipertemukan Allah. Dik Syifa bahagia kan? Oh iya, aku hafal Ar Rahman loh.. aku bacain buat kamu ya…” Ayat demi ayat surah Ar Rahman mengalun menghiasi suasana romantis dua hati yang sedang mensyukuri kebersamaan mereka.
Mungkin terlihat seperti kebersamaan yang sepi, namun dua hati mereka sedang berdialog dengan cinta yang tak bisa terlukiskan oleh tinta. Hanya mereka dan Tuhan yang tahu. Dan, ketika sampai di ayat yang terakhir, tangan Syifa menggenggam erat tangan Ahmad.
“ Dik Syifa mau bilang sesuatu?”, tanya Ahmad sembari mendekatkan telinganya. Namun tak terdengar apa-apa. Ahmad mencoba melihat gerak bibir istrinya yang terlihat lemah.
“ Iya Syifa, aku insyaAllah ridho… sudah, syifa istirahat ya….” Syifa pun pelan-pelan kembali menggerakkan bibirnya, seakan mengucapkan sesuatu. Terdiam, pelan-pelan Syifa tersenyum dan menutup matanya untuk selamanya.
Ahmad tak kuasa menahan airmatanya. Istri yang dicintainya telah pergi. Ahmad teringat dengan sebuah hadist, istri yang meninggal dunia dalam keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, Tirmidzi)
“ Tunggu aku di surga ya Dik Syifa…” ucap Ahmad dengan senyum dan airmata yang bersamaan.
Re-write dari: http://www.facebook.com/notes/blog-nya-mas-rully/tunggu-aku-di-surganya/183150798371243
Posting Komentar
Komentar Anda akan sangat bermanfaat untuk perkembangan dan kemajuan blog ini, tapi yang sopan ya... dan jangan spam. Terima Kasih.