Saat ini kemerdekaan RI genap berusia 64 tahun. Ibarat
seorang manusia, usia 64 tahun adalah usia tua dan telah melewati beberapa fase
dalam hidupnya seperti masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Tetapi bila hal
itu kita terapkan pada bangsa ini, kondisi riilnya sama sekali tidak
membenarkan idealita itu. Bahkan sepertinya kita masih berada pada fase belajar
dewasa. Ibarat manusia, pada dirinya terjadi pertumbuhan yang tidak normal,
mengalami kelambanan dalam berfikir dan bertindak. Kenapakah hal itu bisa
terjadi? Itulah yang harus sama-sama kita fikirkan melalui renungan ini.
Dalam pandangan Islam kemerdekaan tidak hanya diukur dari terbebasnya
sebuah bangsa dari penjajahan kolonial. Memang itu tidak dipungkiri sebagai
salah satu alat ukur. Karena kondisi terjajah membuat suatu bangsa bergantung
kepada pihak yang menjajah. Kemudian tidak adanya kebebasan (hurriyah)
bertindak dan menentukan nasib sendiri dari bangsa terjajah. Segala
keputusannya tergantung pada si penjajah. Namun kemerdekaan yang hakiki baru
dapat dirasakan bila semua makna ‘penjajahan’ tersebut betul-betul sirna dan
berakhir dalam kehidupan suatu bangsa. Suatu bangsa baru dikatakan merdeka yang
sesungguhnya, bila bangsa itu hidup mandiri, tidak menggantungkan nasibnya
kepada negara lain. Kemandirian di sini khususnya menyangkut hal-hal yang
general, seperti kemandirian ideologi, ekonomi, politik, hukum, budaya, pendidikan,
dan sebagainya. Kemandirian tidak berarti menutup pintu untuk bekerjasama
dengan bangsa lain untuk meraih suatu tujuan yang menguntungkan bersama.
Kemandirian ekonomi berarti bangsa itu tidak menggantungkan
hidupnya dan perputaran roda perekonomiannya dari bantuan dan pinjaman luar
negeri. Kemandirian politik berarti bangsa itu betul-betul bebas dalam
menentukan kemauan dan kebijakannya, tidak dipengaruhi oleh kemauan dan
kepentingan negara-negara maju. Bila bangsanya menginginkan agar Islam diterapkan
dalam hidup bernegara, penguasa negeri itu mengikuti tuntutan rakyatnya, bukan
mendengar gertakan-gertakan negara maju yang senantiasa mengkhawatirkan
pelaksanaan aturan Islam di negerinya sendiri. Kemandirian hukum lebih jelas
lagi. Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang mampu melahirkan
perundang-undangannya sendiri. Bukan menggunakan hukum produk negara penjajah.
Bangsa muslim baru dikatakan merdeka, bila mereka sudah
mampu menerapkan syari’ah Islam dalam semua segi kehidupan mereka, bukan
memilah-milah bagian yang sifatnya pribadi dan keluarga saja. Di sinilah
perbedaan pokok antara Islam dengan ideologi lain. Islam mengharuskan
pemeluknya untuk patuh dan tunduk kepada aturan hukumnya. Dalam masalah-masalah
pokok, Islam tidak menyerahkan aturan itu kepada manusia, karena hal tersebut
akan rentan dengan perebutan kepentingan. Oleh karenanya diambil alih oleh
Allah swt yang mengetahui persis hal-hal yang sesuai dengan kebaikan manusia
dan bahaya yang mengancamnya.
Demikian juga dengan kemandirian budaya, apabila budaya
bangsa itu tidak diwarnai oleh infiltrasi budaya asing (barat), dalam kehidupan
remaja, rumah tangga, etika pergaulan dsb. Dan lebih prinsip lagi adalah pola
pikir atau sering disebut sebagai ‘ideologi’. Insan yang merdeka adalah insan yang
tidak mengkopi pemikiran dan tidak mewarisi pola pikir kaum penjajah, seperti
sekularisme, materialisme, hedonisme dan isme-isme lainnya. Akan tetapi insan
yang berpegang teguh pada ideologinya sendiri. Bila ia seorang muslim, maka
ideologi yang dianutnya seharusnya Islam. Sehingga pemikiran dan pola
berpikirnya senantiasa mengacu kepada kerangka berfikir Al-Qur’an dan Sunnah
Nabi s.a.w.
Apabila pilar-pilar tersebut belum terpenuhi secara global,
maka sulitlah untuk mengatakan bangsa itu telah merdeka. Yang ada hanyalah
merdeka dari penjajahan fisik dan militer sebagaimana yang lazim dikenal pada
awal abad kedua puluh lalu. Bagaimana mungkin dapat disebut suatu bangsa
merdeka bila masalah bangsa itu dari persoalan politik hingga budaya sangat
dipengaruhi oleh kekuatan asing. Dari ujung rambut ke ujung kaki disetir oleh
orang luar. Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah ketergantungan untuk tidak
menyebut keterjajahan ini disebabkan karena kelemahan dalam diri bangsa-bangsa
yang baru merdeka atau sebuah kondisi yang dipaksakan oleh pihak penjajah
kepada mereka, yang betapapun mereka mau lepas dari kerangkeng penjajah itu
tetap saja akan terikat oleh rantai-rantai lainnya? Kedua kemungkinan ini dapat
terjadi secara bersamaan. Bahwa bangsa-bangsa muslim sekarang belum menyadari
sepenuhnya arti keterbebasan itu (yang ada hanya pada segelintir orang saja),
memang suatu realita yang tidak dapat ditolak. Tetapi dari percaturan politik
internasional kemungkinan kedua tadi juga tak dapat ditampik adanya. Tapi yang
sadar akan hal ini hanya kalangan tertentu dari bangsa-bangsa muslim. Pada
umumnya mereka sudah tertidur dengan nyanyian kemerdekaan dan ‘kesenangan’nya.
Sungguh amat jelas konspirasi negara-negara barat terhadap
negara-negara muslim yang ingin melepaskan jerat penjajahan itu. Tetapi mereka
yang betah dengan kondisi terjajah, akan dibiarkan begitu saja dan dimamahi
oleh si penjajah. Penguasa yang ada di negara-negara muslim hanyalah
perpanjangan tangan kaum kolonial saja. Sebab, kaum penjajah tidak bakal
meninggalkan negara jajahannya sebelum yakin bahwa yang menggantikannya di
kursi kekuasaan adalah orang-orang yang bercorak pikiran serupa dengan si
penjajah. Jadi, seperti mengutip istilah Sayed Quthb keluar "Inggris
putih", masuk "Inggris cokelat". Sebenarnya kaum kolonial barat
tidak mengizinkan kita merdeka dengan sesungguhnya? Sehingga mereka berupaya
dengan berbagai cara untuk tetap mempertahankan ketergantungan itu, yang
diawali dari ketergantungan ekonomi, kemudian merembes kepada ketergantungan politik,
dan tidak disadari masuk dalam jerat ketergantungan budaya, sementara ikatan
hukum belum bisa dilepaskan, karena elit-elit yang masih terbelit oleh jerat
ideologis.
Dalam konsep Islam kemerdekaan diawali dari keterbebasan
`aqidah dan pola pikir manusia dari mengikuti ‘hawa nafsu’. Sebab menurut
terminologi `aqidah hanya dikenal dua arus, 1. arus Allah s.w.t, 2. arus
thaghut (Syaitan). Orang yang tidak mengikuti arus Allah s.w.t. sadar atau
tidak sadar sudah pasti akan terkoptasi oleh arus thaghut. Orang beriman
membebaskan diri dan keinginannya dari segala keterikatan di luar Allah. Arus
Allah itu rambu-rambunya sudah jelas baik dalam dimensi politik, ekonomi,
hukum, budaya, dll. Kesemuanya mengancu kepada ketentuan Allah dalam Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi-Nya. Manusia berfikir bagaimana menerapkan aturan itu dan
mengembangkan ke bagian-bagian yang belum terjangkau secara harfiyah oleh
aturan itu melalui mekanisme ‘ijtihad’. Manusia jangan seklai-kali berfikir
ingin merubah atau lari dari aturan itu. Konsekuensinya harus dibayar dengan
biaya yang sangat mahal ketersesatan di dunia dan neraka di akhirat. Itulah
yang terjadi sekarang ini, dimana manusia kehilangan kemanusiaannya karena
mengikuti ‘hawa nafsu’nya (thaghut). Sistem-sistem yang mereka ciptakan dengan
tujuan awal untuk kesenangan dan kebahagiaan manusia, serta-merta berubah
menjadi malapetaka yang mencelakakan kemanusiaan secara umum. Jadi manusia
menjadi musuh dari produk-produknya sendiri. Ancaman kehancuran dunia datang
dari mana-mana, dari politik, militer, ekonomi, lingkungan, budaya, hukum, dan
sendi-sendi lainnya. Sudahkah tiba saatnya manusia khususnya umat Islam sadar
dan ruju` kepada aturan Allah swt dan petunjuk (hadyu) Nabinya saw. dengan
meretas berbagai ikatan dan jeratan pertama sekali dari benaknya (`aqidah),
kemudian ke lingkungan sekitarnya. Tanpa dibayang-bayangi oleh perasaan
ketakutan yang dihembusklan oleh syaitan dan tentara-tentaranya tentang kondisi
kemajemukan bangsa, kebinekaan, nasionalisme dan sejenisnya.
Posting Komentar
Komentar Anda akan sangat bermanfaat untuk perkembangan dan kemajuan blog ini, tapi yang sopan ya... dan jangan spam. Terima Kasih.