Bukti Kedua:
Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam Manusia Biasa Yang Berjalan di Pasar
Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam Manusia Biasa Yang Berjalan di Pasar
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus nabi dan rasul-Nya semenjak Nabi Adam hingga rasul terakhir yaitu Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam. Tugas para rasul sepanjang sejarah kenabian dan kerasulan ialah untuk menyeru umatnya agar mereka mengesakan Allah dengan segala peribadatan dan meninggalkan segala peribadatan kepada selain-Nya:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “sembahlah Allah (saja) dan jauhilah thaghut (setiap sesembahan selain Allah) itu, maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula diantaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. An Nahel: 36)
Sebagaimana para rasul juga diberi tugas menyampaikan dan menjelaskan syari’at Allah Ta’ala kepada umatnya:
“Kami tidak mengutus seorang rasulpun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ibrahim: 4)
Tugas mulia ini juga telah ditegaskan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, yaitu dalam sabdanya:
عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: (إنه لم يكن نبي قبلي إلا كان حقا عليه أن يدل أمته على خير ما يعلمه لهم وينذرهم شر ما يعلمه لهم). رواه مسلم
“Diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash rodiallahu ‘anhu dari Rasulillah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya tidaklah ada seorang nabi-pun yang diutus sebelumku, melainkan wajib atasnya untuk menunjukkan kepada ummatnya seluruh kebaikan yang ia ketahui, dan memperingati mereka dari kejelekan yang ia ketahui.’” (HSR Muslim)
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam mengemban tugas mulia ini, telah dibekali oleh Allah Ta’ala dengan dua macam wahyu:
1. Wahyu yang teks dan kandungannya merupakan firman Allah Ta’ala, dan wahyu inilah yang dimaktub dalam Al Qur’anul Al Karim.
2. Wahyu yang kandungannya dari Allah Ta’ala, akan tetapi teks yang memuatnya diserahkan kepada Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam, dan wahyu ini disebut hadits Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.
Hal ini telah dijelaskan dalam banyak dalil, diantaranya firman Allah Ta’ala:
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada Kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al Baqarah: 151)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah Ta’ala mengingatkan hamba-hamba-Nya akan kenikmatan-Nya yang telah dilimpahkan kepada mereka; berupa diutusnya Nabi Muhammad shollallahu ‘alaihi wasallam kepada mereka. Beliau membacakan kepada mereka ayat-ayat yang jelas kandungannya, dan beliau juga mensucikan diri mereka dari perangai yang hina, kepribadian yang kotor, dan perilaku orang-orang jahiliyyah. Sebagaimana beliau juga telah membawa mereka keluar dari kegelapan menuju kepada cahaya, mengajarkan kepada mereka Al Kitab yaitu Al Qur’an, Al Hikmah yaitu As Sunnah, dan mengajarkan kepada mereka apa-apa yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Dahulu mereka berada dalam kegelapan jahiliyyah, berperilaku bodoh, kemudian mereka berubah –berkat risalah dan kenabian dan menjadi berkepribadian para wali dan bertingkah laku para ulama’. Dengan demikian mereka telah menjadi orang yang paling dalam ilmunya, baik hatinya, jauh dari sikap mengada-ada, dan paling jujur ucapannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/195-196).
عن المقدام بن معد يكرب رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ألا إني أوتيت الكتاب ومثله معه، ألا إني أوتيت القرآن ومثله معه. ألا يوشك رجل ينثني شبعانا على أريكته يقول: عليكم بالقرآن فما وجدتم فيه من حلال فأحلوه وما وجدتم فيه من حرام فحرموه . رواه أحمد وأبو داود
“Diriwayatkan dari sahabat Miqdan bin Ma’dikarib rodiallahu ‘anhu ia menuturkan: Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Ketahuilah bahwa aku telah diberi (diturunkan kepadaku) Al Kitab dan yang serupa dengannya (yaitu As Sunnah) bersamanya, Ketahuilah bahwa aku telah diberi (diturunkan kepadaku) Al Qur’an dan dan yang serupa dengannya (yaitu As Sunnah) bersamanya. Ketahuilah bahwa tak lama lagi akan ada orang yang bersila diatas balai-balai dan ia dalam keadaan kenyang, berkata: ‘Hendaknya kamu mengikuti Al Qur’an (saja) sehingga apa yang kamu dapatkan di dalamnya halal, maka halalkanlah, dan apa yang kamu dapatkan diharamkan di dalamnya, maka haramkanlah.’” (HSR Ahmad dan Abu Dawud)
Oleh karena itu, ulama’ ahli ushul fiqih di seluruh mazhab fiqih, telah sepakat bahwa sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam adalah salah satu sumber hukum.
Imam As Syafi’i rahimahullah berkata: “Seluruh ulama’ kaum muslimin telah sepakat, bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan sunnah itu, karena mengikuti ucapan seseorang.” (I’ilam Al Muwaqi’in, oleh Ibnul Qayyim 1/282).
Al Imam Al Ghazali rahimahullah berkata: “Sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam adalah hujjah (dalil), karena mukjizat beliau telah membuktikan bahwa beliau senantiasa berkata benar, dan dikarenakan Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk meneladaninya, dan dikarenakan beliau tidaklah mengucapkan sesuatu berdasarkan hawa-nafsunya, yang beliau ucapkan tiada lain hanyalah wahyu yang telah diturunkan kepadanya. Akan tetapi perlu diingat, bahwa sebagian wahyu kita diperintahkan untuk beribadah dengan membacanya, yaitu yang berupa Al Kitab (Al Qur’an) dan sebagian lain tidak, yaitu yang berupa As sunnah.” (Al Mustashfa, oleh Imam Al Ghazali 2/120).
Sebagaimana para ulama’ juga telah sepakat bahwa Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam senantiasa terlindung dari kesalahan dalam hal penyampaian wahyu, dan perbuatan dosa besar. Sehingga syari’at yang beliau emban tidak ada satupun yang salah atau kurang, atau sengaja beliau sembunyikan. (Baca keterangan ulama’ ahli ushul tentang masalah ini dalam kitab: Nihayat As Sul 2/6, Irsyadul Fukhul oleh Imam As Syaukani 1/159-164).
Allah Ta’ala berfirman:
“Yang tidak datang kepadanya (Al Qur’an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” (QS. Fushshilat: 42)
Sahabat Ibnu Abbas meriwayatkan sebuah hadits marfu’ (sampai kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam):
ليس أحد إلا يؤخذ من قوله ويدع غير النبي صلى الله عليه و سلم. رواه الطبراني في الكبير وقال عنه الهيثمي رجاله موثقون
“Tidaklah ada seorang pun melainkan sebagian ucapannya diterima dan sebagian lainnya ditolak selain Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.” (Riwayat At Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabir, dan dikomentari oleh al Haitsami bahwa para perawinya adalah tsiqah (memiliki kredibilitas tinggi)
Dan Mujahid rahimahullah berkata:
ليس أحد إلا يؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه وسلم. رواه أبو نعيم الأصبهاني
“Tiada seorangpun, melainkan pendapatnya/ucapannya dapat diambil dan juga ditinggalkan, selain Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.” (Riwayat Abu Nu’aim Al Ashbahani), ucapan senada juga pernah diucapkan oleh Imam Malik rahimahullah (Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Az Zahabi dalam kitabnya Siyar A’alam An Nubala’ 8/93).
Ini semua sebagai pelaksanaan atas perintah Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Dan apa yang diperintah oleh Rasul kepadamu maka lakukanlah, dan apa yang dilarangnya darimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al Hasyr: 7)
Dengan demikian ketaatan kita kepada perintah-perintah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam adalah bagian dari ketaatan kepada Allah Ta’ala, karena Dia-lah yang memerintahkan kita untuk menerima setiap perintahnya dan meninggalkan setiap larangannya.
“Barang siapa menta’ati rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (QS. An Nisa’: 80)
Dan dalam hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : (من أطاعني فقد أطاع الله ومن يعصني فقد عصى الله) متفق عليه
“Dari sahabat Abi Hurairah rodiallahu ‘anhu dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Barangsiapa yang taat kepadaku berarti ia telah taat kepada Allah dan barang siapa yang bermaksiat (tidak taat) kepadaku berarti ia telah bermaksiat kepada Allah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Akan tetapi sekali lagi, UAA menyelisihi salah satu prinsip utama agama Islam ini, sehingga ia tak segan-segan untuk mengutarakan isi hati dan misi yang sedang ia emban, yaitu ketika ia menganggap bahwa uswah dan sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, dan penerapan Islam yang pernah dilakukan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersama sahabatnya hanya sebatas salah satu kemungkinan saja (one among others) dari berbagai penerjemahan terhadap Islam di muka bumi. Para pembaca -yang semoga senantiasa dirahmati Allah- cermatilah ungkapan nista yang diucapkan oleh UAA berikut ini:
“Islam yang diwujudkan di madinah partikular, historis, dan kontekstual, sempurna untuk ukuran zamannya, tapi tidak sempurna untuk ukuran saat ini. Kita tidak bisa menerapkan apa saja yang diterapkan pada masa itu. Makanya, Islam pada masa Nabi one among others. Artinya, satu di antara kemungkinan untuk menerjemahkan Islam di muka bumi.” (Islam Liberal & Fundamental, hal. 246).
Kesesatan UAA ternyata tidak hanya berhenti sampai di sini saja, akan tetapi ia lebih nyata dan jelas menunjukkan jati dirinya, yaitu dengan berkata:
“Nabi itu manusia biasa, tetapi diberi kelebihan oleh Allah. Dia itu aktor sosial yang menghendaki perubahan, seperti para pemimpin revolusi di dunia. Ia membangun idealisme, tapi tak semuanya bisa terwujud, karena struktur sosial tak bisa diubah sepenuhnya.” (Islam Liberal & Fundamental, hal. 246).
Di lain kesempatan UAA mensifati Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dengan ucapannya:
“Menurut saya: Rasul Muhammad Saw adalah tokoh historis yang harus dikaji dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).” (Idem hal 9-10).
Dari ucapan UAA diatas, jelaslah bagi kita, bahwa sebenarnya agama yang dianut oleh orang-orang JIL bukanlah agama Islam, agama yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam. Dan bila anda bertanya: “Sebenarnya agama siapakah yang dianut oleh JIL dengan koordinatornya yang bernama UAA?
Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita simak firman Allah berikut:
“Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina-dina diantara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.’” (QS. Huud: 27)
Inilah agama yang sedang mereka anut, yaitu agama para musuh Nabi dan rasul pada setiap zaman.
Perbedaannya antara ucapan UAA dengan penentang para nabi zaman dahulu hanya pada kesimpulan terakhir, yaitu pada ucapan mereka: “Bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” Bila penentang para nabi nyata-nyata mendustakan kenabian dan kerasulan mereka, akan tetapi JIL melalui koordinatornya tidak atau mungkin belum berani mengutarakannya.
Dengan memahami kesamaan antara kedua perkataan ini, kita tahu dengan gamblang ajaran siapakah sebenarnya yang dianut oleh JIL, yaitu ajaran para penentang nabi dan rasul di setiap zaman, yaitu ajaran yang berlandaskan kepada “wahyu” (bisikan) dari Iblis terlaknat. Dengan demikian ini adalah salah satu bukti bahwa sebenarnya JIL (UAA) adalah pembaharu agama Abu Jahal dan konco-konconya. Na’uzubillahi min zalika.
Posting Komentar
Komentar Anda akan sangat bermanfaat untuk perkembangan dan kemajuan blog ini, tapi yang sopan ya... dan jangan spam. Terima Kasih.