KH Maemoen Zubair (PP Al-Anwar) Sarang, Rembang

0 komentar

Image and video hosting by TinyPic

Sentuhan Dingin ‘Ulama Sarang’
Dalam acara bahsul masail antar pesantren, santri-santri dari Pesantren Al-Anwar, Sarang Rembang terkenal dengan penguasaan ilmu-ilmu fiqh. Itu semua berkah sentuhan tangan dingin sang pengasuh pesantren, yakni KH. Maimoen Zubair Dalam berbagai ceramah yang disampaikan, Mbah Maimoen, demikian kalangan santri kerap memanggilnya, senantiasa memberikan keoptimisan pada umat Islam Indonesia di tengah berbagai bencana krisis dan hantaman musibah yang datang bertubi-tubi.“Syiar Islam yang makin berkembang di Indonesia akhir-akhir ini akan memberikan pengaruh besar bagi penyelesaian krisis multidimensi berkepanjangan.”Dialah KH. Maimoen Zubair, sosok ‘ulama yang sangat disegani di kalangan Nahdlatul ‘Ulama (NU). Ia juga adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang berada di kawasan pantai utara Jawa Tengah. Tepatnya di Desa Karangmangu, Kecamatan Sarang dan masih masuk kabupaten Rembang. Lewat sentuhan tangan dingin sang Kiai sepuh ini, alumni pesantren Sarang banyak dikenal tangguh dalam masalah fiqh. Hal ini dapat dilihat dari uraian-uraian para santri saat acara bahsul masail atau forum sawir (seminar) yang membahas masalah fiqh kontemporer (aktual) antar pesantren di Jawa Tengah dan sekitarnya. Sosok ulama ini, sekalipun usianya semakin sepuh terus giat berdakwah memberikan taushiah dan wejangan yang menyejukan. Hampir tiap hari, Kiai sepuh yang telah berusia 78 tahun ini sering diminta untuk taushiah dari satu pesantren ke pesantren yang lain. Jadwal untuk mengisi pengajian semakin padat, terutama pada bulan Rajab, Sya’ban, Ramadhan dan Syawal. Ia sering diminta mengisi taushiah haul, pengajian khataman santri. Ceramahnya penuh dengan tinjauan sejarah dan kaya nuansa fiqh, membuat betah para jama’ah untuk menyimaknya. Sekalipun sering mengisi acara di luar pesantren, seperti untuk organisasi, partai politik atau acara pengajian umum, KH Maimoen Zubair tak melupakan kewajiban pokoknya untuk mengasuh santri-santri. Pulang dari berceramah dari berbagai daerah, begitu sampai ke kediamannya ia tetap mengajar kitab Ihya Ulumiddin dan kitab-kitab Tasawuf, terutama untuk santri senior setiap ba’da Subuh dan sehabis shalat Ashar. Kiai Maimoen —panggilan akrabnya— sering menjadi rujukan dan tempat meminta pendapat dari berbagai kalangan. Baik dari kalangan bawah, pengurus NU, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) maupun pejabat pemerintah. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU, pernah berkunjung ke Sarang. Dr. H. Hamzah Haz (mantan Wakil Presiden RI) yang juga adalah Ketua Pimpinan Harian Pusat Partai Persatuan Pembangunan (Ketua PHP PPP), Drs. H. Suryadharma Ali (Menteri Koperasi dan UKM), Drs. H. Bachtiar Chamsyah (Menteri Sosial), KH. Thoyfoer MC (Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, Lasem yang juga adalah anggota DPR RI periode 2004-2009) termasuk tokoh-tokoh yang rajin sowan ke Kiai Maimoen Zubair.Banyak santri-santri dari Pondok Pesantren Al-Anwar yang dibimbing langsung Mbah Maimoen, saat ini mulai berkiprah di masyarakat. Sebut saja, KH. Habib Abdullah Zaki bin Syeikh Al-Kaff (Bandung), KH. Abdul Adzim (Sidogiri, Pasuruan), KH. Hafidz (Mojokerto), KH. Mohammad Hamzah Hasan bin KH Muhammad Hasan (Ponpes Tanbighul Ghofilien, Mantrianom, Banjarnegara), KH. Dr. Zuhrul Anam (Ponpes At-Taujieh Al-Islami, Leler, Banyumas) dan masih banyak ribuan ulama lainnya. Siapa sesungguhnya Kiai Maimoen, kok banyak orang-orang di NU sangat menghormatinya? Publik selama ini tidak banyak tahu, padahal ia adalah putra KH. Zubair, seorang ulama tersohor di belahan pantai utara Jawa, Sarang, Rembang. Ulama yang telah berumur 78 tahun ini dilahirkan di dusun Karangmangu, Sarang pada bulan Oktober 1928 dan merupakan putra pertama dari 14 bersaudara.Walau masih keturunan kiai, ia bukanlah termasuk golongan ningrat yang membangun menara gading dalam lingkungan santri yang begitu ketat. Justru melalui sentuhan kedua orangtuanya, ia mendidik dirinya untuk membaur hidup dengan kalangan masyarakat mana pun. Praktis, sejak kecil Maimoen telah membaur dalam alam pendidikan masyarakat desa yang sarat religius itu. Sedari kecil, ia tak segan-segan bergabung dengan teman-teman sebayanya yang rata-rata juga menjadi santri di kampung. Sikap inilah yang kelak menempanya menjadi ulama yang berjiwa suka berkawan dengan siapa saja dan di mana pun, egaliter. ”Kehidupan santri itu begitu campur. Siapa yang mempunyai ilmu itu belum tentu ada kaitan dengan ras, suku, pangkat atau katakan anak Kiai. Itu sama rata. Siapa yang tekun, akan mendapat ilmu.’Man jada wa jada’ (siapa yang sungguh-sungguh akan mendapatkannya),” katanya.Sebagai anak sulung, ia dari kecil telah ditempa secara intensif oleh ayahandanya, namun bukan berarti ia kehilangan masa kanak-kanak sebagaimana umumnya. Perjalanan waktu berjalan penuh arti dan kesan, baik untuk mengaji, belajar dan bermain. Setiap hari, hampir dipastikan lepas pulang dari madrasah ibtidaiyah yang terletak persis di komplek pesantren, Maimoen mengaji ilmu agama pada ayah tercinta di masjid. Didikan yang keras dari sang ayah tercinta, tak sia-sia. Pada usia yang relatif muda, ia telah banyak menyerap ilmu agama dari sang ayah, KH. Zubair yang dikenal banyak melahirkan ulama-ulama ternama, seperti KH. Sahal Mahfudz, KH. Hasyim Muzadi dan lain-lain. Selain mendapat didikan agama, sang ayah, KH. Zubair juga membekali Maimoen dengan pendidikan umum seperti sosial, ekonomi, politik dan kemasyarakatan. Sejak usia tujuh tahun, sang ayah, memberikan buku bahasa Indonesia, tata bahasa jawa, ekonomi, majalah-majalah dan terutama buku-buku terbitan Budi Pustaka. Ia sedari kecil telah ditanamkan untuk mencintai ilmu pengetahuan, tanpa membedakan masalah ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum. Tak heran, Maimoen Zubair selain menguasai ilmu-ilmu agama dari madrasah, ia juga menguasai ilmu umum dengan pengetahuan plus. Maimoen Zubair menamatkan pendidikan dasar di Madrasah di Pondok yang diasuh oleh sang ayah, yakni Pondok Pesantren Al-Anwar tahun 1943. Ketika umurnya menginjak usia 18 tahun, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri dari 1944-1948. Selama menuntut ilmu di Lirboyo, ia sangat terkesan dengan metode mengajar dari salah satu gurunya, yakni KH. Abdul Karim. “Beliau dalam mengajar sangat tekun dan kitab yang diajarkan tidak memakai syah-syahan (makna). Sampai sekarang, metode mengajar beliau saya tiru dalam mengajar pada santri-santri,” kata Mbah Maimoen. Selain itu, lanjut Mbah Maimoen, KH. Abdul Karim sangat menekankan pentingnya penanaman budi pekerti bagi setiap santri.”Ilmu itu letaknya di hati, bukan yang tertulis (ditulis -red). Oleh karena itu untuk menjadi ulama, harus tahu rujukan (dhomir). Seperti kata pepatah, ’Adhomir fi dhomir’ (di mana santri harus tahu rujukan ‘dhomir’, tanpa yang ditulis). Dhomir itu ada di hati. Itu yang masih saya kagumi dari KH. Abdul Karim.” Setelah mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren Lirboyo (Kediri), ia kemudian kembali belajar di Pondok Pesantren Al-Anwar (Sarang, Rembang) dan mendapat didikan langsung dari sang ayah, KH. Zubair dari tahun 1948-1950. Sebagaimana para Kiai tempo dulu, Kiai Maimoen Zubair saat menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada tahun 1950, sekaligus menimba ilmu agama pada ulama-ulama yang ada di sana. Seperti Sayid Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Syaikh Amin Kutbi, Sayid Hasan Masdah, Syaikh Yasin Al-Fadani dan lain-lain. Sungguh keberuntungan besar saat bejar di Masjidil Haram, KH. Maimoen Zubair dapat berguru dengan Syaikh Yasin Fadani. Syaikh Yasin adalah seorang ulama yang telah mengarang kitab seperti Ad Darul Mahdud Syarah Sunan Abu dawud (20 jilid), Fathul Alam Syarah Bulughul Maram (4 jilid), Arbauna Haditsan min Arbaina Kitaban an Arbaina Syaikhon (Hadits), Bagyatul Musytaq Syarah Luma Abu Ishaq, Hasyiatun alal Asybah wan nadhair fil furu’ al Fiqhiyah, Tatmimuddukhul Ta’liqat ‘ala Wushul Ila Ilmil usul (Fiqh dan Qowaid) dan lain-lain.Tercatat karya Syaikh Yasin berjumlah 50 kitab lebih. Tidak sedikit murid-murid dari Syaikh Yasin Fadani dari Indonesia di kemudian hari menjadi ulama-ulama ternama di tanah air. Diantara nama-nama kesohor murid Syaikh Yasin Fadani adalah KH. Sahal Mahfudz (Rois Am PBNU sekarang), KH. Abdullah Faqih salah satu kiai khos NU (Pengasuh Ponpes Langitan, Tuban), KH. Sukron Makmun (Pengasuh Ponpes Darul Rokhman, Jakarta), KH. Idham Chalid (Mantan Ketua PBNU), KH. Syafi’i Hadzami (Jakarta), KH. Mahrus Aly (Kediri), KH. Zainuddin Pancor (Lombok) dan lain sebagainya.Setelah dirasa cukup menimba ilmu di Masjidil Haram, sekitar akhir tahun 1952, KH. Maimoen Zubair pulang ke Sarang (Rembang) dan mengasuh Pondok Al-Anwar hingga sekarang. Selain mengajar dan berdakwah, KH. Maimoen Zubair masih menyempatkan diri menulis kitab. Kitab-kitab yang ditulisnya dalam bentuk taqrirat dan syarah. Bentuk taqrirat antara lain kitab Jawarud Tauhid, Ba’dul ‘Amali, Alfiyah dan dalam bentuk syarah yakni Syarah Imriti (Nahwu). Kitab-kitab tersebut dicetak terbatas untuk kalangan sendiri, yakni santi-santri Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang.Ia aktif dalam kegiatan kemasyarakatan yakni jamiyyah Nahdlatul ‘Ulama (NU). Sejak tahun 1950-an ia pernah menjadi Ketua Ranting Desa Karang Mangu, Sarang (Rembang) dan pada 1955 ia dipercaya menjadi Rois Syuriah Majelis Wakil Cabang (MWC) Kecamatan Sarang. Lepas itu ia mendapat kepercayaan menjadi anggota Syuriah Cabang Kabupaten Rembang dari tahun 1960-1970 dan menjadi anggota Syuriah Wilayah Jawa Tengah pada periode 1979-1984. Ia juga pernah menjadi anggota Syuriah PBNU pada periode 1984-1989, di bawah kepemimpinan Rois Am KH. Ahmad Siddiq (Jember).KH. Maimoen Zubair selain berkiprah di NU, ia juga dikenal sebagai tokoh politikus yang teguh pendirian. Di saat ulama-ulama NU berduyun-duyun “hijrah” dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ke Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sekitar tahun 1998, ia tetap istiqamah dan teguh berjuang memimpin Majelis Syari’ah PPP di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) bersama ulama-ulama NU yang lain, seperti KH. Syafi’i Hadzami (Jakarta), KH. Alawy Muhammad At-Taroqy (Sampang, Madura), KH. Ismail Muzakki (Bangkalan, Madura), KH. Nasiruddin (Pasuruan), KH. Warits Ilyas (Surabaya), KH. Syaiful Islam (Probolinggo), KH. Munir Hasyim Latief (Surabaya), KH. Qawa’id As’ad Syamsul Arifin (Asembagus, Situbondo), KH. Thoyfoer MC (Rembang), KH. Dr. Zuhrul Anam (Banyumas), KH. Munzir Tamam (Jakarta) dan lain-lain. Kiai sepuh ini menegaskan, bahwa silang pendapat dalam tubuh NU adalah satu hal yang biasa, kalau nggak dikatakan sudah menjadi ciri khas, yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapinya secara arif, dan menyadari bahwa beda pendapat adalah sunatullah. “KH. Hasjim Asy’ari dan KH. Faqih Mas Kumambang ialah prototipe kiai yang bisa bersatu dalam perbedaan. KH. Hasjim Asy’ari menganjurkan membunyikan kentongan setiap datang waktu shalat, sementara KH. Faqih Mas Kumambang punya pendapat sebaliknya, namun perbedaan itu tidak membuat hubungan kedua kiai, yang pada saat itu, KH. Hasjim Asy’ari menjabat Rais Am PBNU, sedangkan KH. Faqih Mas Kumambang sebagai wakilnya, menjadi renggang,” katanya bertamsil.Berbagai jabatan politik di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mulai dari tingkat Desa (Ranting) sampai Nasional (Pusat) di Partai berlambang Ka’bah itu pernah diembannya. Jabatan yang masih diembannya hingga sekarang adalah Ketua Majelis Pertimbangan Partai Persatuan Pembangunan (MPP PPP), yang bertugas memberikan fatwa pada Pengurus Harian Pusat PPP (PHP PPP) di bawah kepimpinanan Dr. H. Hamzah Haz. Tampilnya Hamzah Haz ke tampuk jabatan Wakil Presiden RI pada periode yang lalu, diyakini oleh sebagian kalangan partai berlambang Ka’bah sebagai syiasah tingkat tinggi dari ‘Ulama Sarang’ ini. “Kekuasaan di Indonesia tidak bisa baik jika ulama tidak terlibat mewujudkan situasi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang kondusif. Kekuasaan tidak bisa baik tanpa ikut sertanya ulama yang membantu pelaksanaan mewujudkan negara aman dan tenang. Demikian pula berlaku untuk sebaliknya,” kata KH. Maimoen Zubair.Ia menyatakan yakin krisis multidimensi berkepanjangan di Indonesia selama ini akan bisa diakhiri jika suasana kehidupan beragama terus menerus dikembangkan oleh Pondok Pesantren. “Pondok Pesantren adalah kelompok pendidikan yang meluluskan para santrinya untuk hidup mandiri dan tidak menjadi beban penguasa. Para santri memiliki tanggungjawab melakukan pembinaan umat agar hidup takwa. Ketakwaan beragama menjadi jalan mengatasi berbagai kesulitan hidup,” lanjut bapak 15 anak (7 putra, 8 putri) ini.Selain itu, menurutnya, adalah tantangan saat ini dalam berdakwah adalah mengembalikan umat kembali pada agama, tanpa membedakan golongan, partai. Dengan penuh kesejukan ia memberikan nasehat. “Mayoritas bangsa ini adalah beragama Islam. Tidak bisa umat ditekan dan digiring dalam satu partai. Partai harus berbeda-beda, tapi saling menghargai. Dari bermacam-macam aneka warna, partai dan golongan itu, mari bersama-sama dalam satu tujuan membangun bangsa. Dari rahiem keanekaragaman akan lahir kekuatan yang besar untuk mengatasi persoalan kebangsaan yang sekarang ini ada,” tambahnya penuh optimis.
Share this article :

Posting Komentar

Komentar Anda akan sangat bermanfaat untuk perkembangan dan kemajuan blog ini, tapi yang sopan ya... dan jangan spam. Terima Kasih.


 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Nayla Sedan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger